BAB I
PENDAHULUAN
A. SAHAM PROPERTI
Tingginya tingkat kebutuhan dan permintaan terhadap perumahan, menyebabkan tumbuh dan berkembangnya perusahan-perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan perumahan baik dari perumahan untuk kalangan atas maupun penyediaan perumahan untuk kalangan bawah, kemudian perusahaan tersebut menjalin kerjasama dengan lembaga/perusahaan penjamin kredit dalam rangka penjualan property.
Lembaga/perusahaan penjamin/pemberi pinjaman tersebut kemudian melakukan penawaran kredit/pinjaman kepada masyarakat yang digunakan untuk membeli property dimana property tersebut kemudian dipergunakan sebagai jaminan atas pinjaman tersebut.
Dengan adanya lembaga/perusahaan penjamin ini memungkinkan masyarakat yang tidak dapat membeli rumah menjadi dapat membeli rumah yang dikarenakan adanya kemudahan dalam mendapatkan rumah tersebut.
Lembaga/perusahaan penjamin ini merupakan lembaga/perusahaan yang permodalannya besar dan berbentuk perusahaan perseroaan, sehingga untuk mendapatkan tambahan modal lembaga/perusahaan tersebut dengan melakukan penjualan saham dimana saham yang dikeluarkan oleh perusahaan semacam ini disebut dengan saham property.
Saham Properti merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahan-perusahan perseroan yang bergerak dibidang property atau real estate. Dana investasi realestat atau lebih dikenal secara umum dengan istilah Real Estate Investment Trust atau biasa disebut REITs merupakan instrumen investasi berupa surat berharga yang dapat dibeli oleh investor dari perusahaan realestat yang menerbitkan REITs.
Surat berharga ini mirip dengan surat saham yang mencerminkan kepemilikan atas sebuah perusahaan tertentu. Salah satu keunggulan REITs adalah perlakuan khusus perpajakan, dimana disejumlah negara, instrumen REITs ini bebas dari pajak penghasilan. Struktur REITs ini adalah mirip dengan reksadana namun penempatan asetnya adalah pada instrumen properti.
Sebagaimana layaknya sebuah perusahaan, maka REITs ini dapat bersifat "terbuka" yaitu dapat ditawarkan/diperdagangkan di bursa saham ataupun bersifat "tertutup". Namun, untuk menikmati perlakuan khusus tersebut, REITs diharuskan membatasi kegiatan operasional dan investasinya. Chan, Ericksob & Wang (2003) dalam bukunya mengelompokkan ke dalam empat kelompok besar REITs, yaitu pembatasan atas: struktur kepemilikan, jenis pendapatan yang dapat dihasilkan dan jenis aset yang dapat dimiliki, struktur manajemen, dan kebijakan keuangan.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SAHAM PROPERTI
Berbagai faktor makro maupun mikro yang mempengaruhi risiko investasi pada saham properti meliputi :
1. Kondisi Perekonomian
Hal ini dilihat dari pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dengan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tiap tahun atas dasar harga konstan. Skala data dari variabel ini adalah skala rasio. Pertumbuhan PDB ini juga sangat dipengaruhi oleh Pendapatan dan Populasi Masyarakat.
Tingkat pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi laju fluktuasi harga saham property, hal ini disebabkan karena semakin tinggi pendapatan masyarakat maka tingkat permintaan terhadap barang properti pun akan ikut meningkat.
Namun jika tingkat pendapatan masyarakat menurun maka tingkat permintaan masyarakat pun akan menurun pula. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang properti sangat tergantung sekali pada faktor pendapatan masyarakat ini, untuk mengatasi hal tersebut perusahaan properti menawarkan berbagai fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam mendapatkan kemudahan berinvestasi melalui pembelian properti.
Selain itu, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka tingkat pengembalian kredit atau pinjaman yang akan diterima akan lebih lancar dan cepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan apabila tingkat pengembalian lancar maka akan mempengaruhi pula permintaan masyarakat dan kemampuan likuiditas masyarakat.
Meningkatnya jumlah populasi masyarakat disuatu Negara maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kebutuhan masyarakat akan perumahan/property karena perumahan adalah salah satu kebutuhan utama (kebutuhan primer) bagi manusia, apabila tingkat pertumbuhan ini meningkat maka akan ikut mempengaruhi tingkat permintaan terhadapa properti/perumahan itu sendiri dan pada akhirnya akan mempengaruhi naik turunnya harga saham properti.
2. Tingkat Bunga
Tingkat bunga rata-rata yang ditetapkan bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta. Skala data variabel ini adalah skala rasio. Kenaikan suku bunga bank sangat mempengaruhi aktivitas dunia usaha pada umumnya, khususnya sektor property.
3. Nilai Tukar Valuta Asing
Yaitu nilai tukar mata uang nasional dengan nilai mata uang Negara lain. Nilai tukar diukur dengan kurs rata-rata tiap tahun. Skala data variabel ini adalah skala rasio.
4. Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi tahunan yang diukur dengan perkembangan indeks harga konsumen di Indodnesia tiap tahun. Skala data variabel ini adalah skala rasio.
5. Kebijakan Pemerintah
Yaitu kebijakan di bidang ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam periode 1991-1996. Dengan demikian, skala data variabel ini adalah skala nominal.
6. Struktur Modal
Yaitu perbandingan antara penggunaan hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Skala data variable ini adalah skala rasio.
7. Struktur Aktiva (operating leverage)
Yaitu perbandingan penggunaan aktiva tetap dengan total aktiva. Skala data variabel ini adalah skala rasio.
8. Tingkat likuiditas
Yaitu perbandingan antara total aktiva lancar dengan total hutang lancar. Skala data variabel ini adalah skala rasio.
BAB II
SAHAM PROPERTI AMERIKA SERIKAT
A. REAL ESTATE DI AMERIKA SERIKAT
Real Estate Investment Trust (REITs) disahkan oleh Kongres Amerika pada tahun 1960 dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk berinvestasi di properti dengan cara menggabungkan stabilitas dalam investasi properti dengan likuiditas pasar surat berharga.
Pada dasarnya REITs adalah merupakan sebuah perusahaan yang modalnya merupakan gabungan modal dari beberapa investor Amerika maupun diluar Amerika untuk membeli aset berupa properti maupun surat hutang dengan jaminan properti. REITs ini pada dasarnya adalah merupakan reksadana yang menempatkan dana investasinya pada properti.
REITs di Amerika tidak dikenakan pajak penghasilan federal asalkan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan (Internal Revenue Code) salah satunya adalah adanya persyaratan untuk mendistribusikan sekurang-kurangnya 90% dari keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham. Pemegang saham REITs tetap harus membayar pajak penghasilan sesuai dengan dividen yang diperolehnya.
Pada awal tahun 2005 telah tercatat sebanyak 200 REITs yang diperdagangkan di Amerika dengan total aset senilai 500 triliun US Dollar dimana 2/3 nya diperdagangkan di bursa sedangkan jumlah REITs yang tidak terdaftar pada Securities Exchange Commission (SEC) adalah sekitar 800 REITs.
B. JATUHNYA HARGA SAHAM PROPERTI AMERIKA SERIKAT
Jatuhnya harga supreme mortgage memang dipicu oleh tidak kunjung membaiknya kondisi perekonomian AS. Pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, memicu tingginya angka pengangguran dan bahkan memperluas kasus pemutusan hubungan kerja. Pada saat gejolak supreme mortgage ini terjadi, telah cukup banyak kelompok pekerja middle income di AS yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja.
Kelompok pekerja middle income yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja inilah yang menjadi pemicu utama krisis supreme mortgage di AS. Karena telah menjadi pengangguran, kelompok yang jumlahnya mencapai 2,5 juta orang itu tidak lagi memiliki cukup kemampuan untuk membayar cicilan rumah mereka.
Padahal, hingga saat ini pinjaman perumahan di AS tidak mendapatkan jaminan langsung dari pemerintah. Ketiadaan jaminan pemerintah atas kredit perumahan inilah yang membedakan sistem mortgage market antara Amerika Serikat dengan Eropa, khususnya Inggris.
Di Inggris terdapat penjaminan pemerintah atas kredit perumahan, kendati hanya terbatas pada bunga pinjamannya. Meski demikian, penjaminan ini telah menjadi exit policy yang cukup efektif bila terjadi gejolak atau krisis seperti yang terjadi di AS.
Perbedaan berikutnya adalah, para pekerja middle income di Inggris mendapat perlindungan dari pemerintah berupa skema jaminan sosial. Dengan demikian bila terjadi pemutusan hubungan kerja karena perekonomian yang memburuk, kebutuhan dasar para middle income worker ini masih dapat terpenuhi.
Perbedaan menonjol lainnya adalah, ketiadaan bank sentral yang dimiliki langsung oleh pemerintah. Bank of England yang dimiliki oleh pemerintah Inggris memungkinkan pemerintah turun tangan langsung melakukan operasi pasar, sehingga gejolak nilai tukar dapat terkendali.
Campur tangan pemerintah, dalam hal ini Bank of England, juga dapat dilakukan melalui skema penjaminan kredit. Dengan memanfaatkan mekanisme transmisi moneter yang dijalankan oleh bank sentral, program penjaminan kredit perumahan ini dapat mengendalikan gejolak yang setiap saat dapat terjadi.
Di AS, pemerintahnya akan sulit melakukan hal yang sama. Sebab hingga saat ini The Federal Reserve masih tetap milik swasta sejak didirikan pada 1913 silam, dengan pemegang saham antara lain Sachs of New York, Goldman of New York, Citi Bank of New York, Kuhn Loeb Bank of New York, Lazard Brothers of Paris-France, Israel Mozes Seif Bank of Italy, Rothschild Bank of London-England, Warburg Bank of Hamburg-Germany, hingga Warburg Bank of Amsterdam-Netherlands.
Dengan ketiadaan akses tersebut, maka sangat mungkin gejolak
Celah yang bisa diperoleh oleh The Fed juga sangat terbatas pada pemanfaatan instrumen moneternya. Berkaitan dengan hal ini, keputusan Open Market Committee The Federal Rerserve untuk menurunka suku bunga Fed Fund hingga 50 basis poin termasuk agak terlambat. Sebab penurunan ini baru dilakukan setelah perekonomian AS terlanjur melemah, yang tercermin dari tingginya tingkat pengangguran dan kemudian berimbas pada memburuknya kualitas kredit perumahan.
Memang, penurunan suku bunga Fed Fund ini diyakini dapat menjadi insentif bagi perekonomian negeri Uncle Sam. Tingkat investasi maupun konsumsi dalam negerinya diharapkan mendapatkan dorongan baru pasca penurunan suku bunga tersebut. Tetapi penurunan suku bunga ini sendiri tidak mungkin berlangsung terlalu lama, selain efeknya juga dinilai sangat terbatas. Sebab suku bunga AS saat ini sudah termasuk sangat rendah.
Bila suku bunga dibiarkan terlalu lama dalam tingkatan yang rendah, maka perekonomian AS dikhawatirkan justru akan mengalami lonjakan inflasi. Karena itulah, penurunan suku bunga Fed Fund ini hanya bersifat temporer. Paling lama penurunan ini hanya bertahan empat bulan, dan selanjutnya secara bertahap suku bunga Fed Fund akan mengalami peningkatan kembali.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka gejolak nilai tukar rupiah pun juga bisa diperkirakan masih akan berlangsung hingga rentang waktu yang sama, dengan kecenderungan terus tertekan. Melemahnya kurs rupiah yang berlangsung sepanjang pekan kedua dan ketiga lalu hingga menyentuh level Rp9.405-Rp9.420 per dolar AS, juga masih akan berlangsung hingga akhir bulan ini.
Bila tanpa upaya ekstra dari otoritas moneter selain melakukan operasi pasar atau sterilisasi, maka sangat mungkin kurs rupiah akan melemah hingga melampaui Rp9.500 per dolar AS. Sejauh ini Bank Indonesia tetap mengkonfirmasi kurs Rp9.500 per dolar AS sebagai kurs yang 'nyaman'.
Padahal, mengingat gejolak yang dipicu oleh krisis supreme mortgage ini masih akan berlangsung hingga lebih dari dua bulan mendatang, maka sangat mungkin kurs rupiah akan terus melemah hingga mencapai kisaran Rp9.600 per dolar AS. Mencermati kondisi tersebut, maka selayaknya pelaku pasar valuta harus mampu menjaga agar tidak kehabisan nafas selama periode dua bulan mendatang.
C. DAMPAK JATUHNYA SAHAM PROPERTI AMERIKA SERIKAT
Gempa krisis keuangan dari Wall Street, New York, Amerika Serikat akhirnya merembet ke seluruh dunia hanya dalam waktu dua hari. Dampaknya cukup parah karena dalam dua hari itu sejak Senin (21 Januari) hampir semua bursa saham utama dunia mulai memperlihatkan kecenderungan penurunan akibat dipenuhi oleh aksi jual. Bank sentral Amerika Serikat juga mulai memangkas suku bunga dan memperingatkan pelaku pasar keuangan akan terjadinya krisis berkepanjangan.
Seperti paduan suara, bursa saham dunia lalu satu per satu melorot seperti saling menyusul. Hingga pembukaan perdagangan hari itu penurunan paling tajam diderita oleh bursa Jerman (Dax Index) dan
India (Sensex30 Index) yang mencapai lebih 7 persen disusul bursa saham Hong Kong (Hang Seng Index), Cina (Shanghai Composite), dan Inggris (FTSE 100) hingga di atas 5 persen dan bursa Jepang (Nikkei 225) 3,9 persen (the Washington Post, Selasa 22 Januari 2008 Halaman A1)
Setelah pembukaan perdagangan pada bursa Jepang mengalami tekanan sebesar 4,4 persen bursa saham di sejumlah negara Asia kemudian juga mengalami aksi jual. Pembukaan perdagangan pada bursa India kemudian juga mengalami tekanan hingga mendekati angka 10 persen pada saat penutupan perdagangan bursa. Satu-satunya bursa saham Asia yang naik hanya bursa saham di Sri Lanka tetangga India. Keadaan seperti sekarang sudah diperkirakan sebelumnya, kata Wesley Fogel, analis strategi pasar HSBC.
Sehari (22 Januari) kemudian aksi jual masih terus mewarnai bursa saham dunia dengan tekanan yang lebih kuat. Di India pembukaan perdagangan di Sensex30 diawali dengan penurunan hingga mendekati angka 11 persen. Begitu juga dengan pembukaan perdagangan di Nikkei Jepang yang terus ditekan hingga turun 5,65 persen. Secara akumulatif, bursa saham Nikkei sudah anjlok 18 persen pada tahun ini. Keadaan yang tidak lebih baik juga menimpa Hang Seng Hong Kong yang dipaksa turun 8,65 ketika mengawali pembukaan perdagangan atau anjlok sebesar 30 persen sejak akhir Oktober silam.
Sehari sebelumnya pada Senin (21 Januari) para pejabat dari bagian Departemen Keuangan di bank sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) sudah menghubungi sejumlah kolega mereka dari bank-bank sentral di beberapa negara. Para pejabat bank sentral di beberapa negara itu diminta oleh bank sentral Amerika Serikat agar bersiap dan memantau perkembangan bursa saham di Wall Street.
Gejala krisis keuangan Amerika Serikat sudah terlihat sejak September tahun lalu. Saat itu sejumlah perusahaan investasi keuangan ternama dunia mengalami gagal bayar atau kerugian menyusul mulai ambruknya sektor properti Amerika Serikat yang dililit kredit macet. Gejala itu lalu menjadi kenyataan ketika pada November 2007 harga-harga saham dari perusahaan investasi keuangan itu anjlok .
Morgan Stanley, Citigroup Inc. dan Merrill Lynch adalah beberapa perusahaan investasi keuangan raksasa yang terkena dampak serius dari melonjaknya kredit macet di sektor perumahan di Amerika Serikat. Perusahaan itu tercatat menderita kerugian US$ 3,7 miliar (Morgan Stanley), US$ 6,1 miliar (Citigroup Inc.) dan US$ 8,9 miliar (Merrill Lynch).
Morgan lalu menjadi perusahaan pertama yang mengumumkan penghapusbukuan (write off) atas kredit macet senilai US$ 2,5 miliar. Namun pengumuman tersebut justru disusul dengan kejatuhan sahamnya di bursa
Karena kecemasan investor di pasar modal dianggap bisa menggerogoti saham Morgan Stanley, perusahaan itu akhirnya memecat Cruz. Perempuan berusia 52 tahun itu dipecat karena dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas sejumlah kredit macet Morgan Stanley. Posisinya kemudian digantikan oleh John Mack.
Sejak itu para pelaku pasar di bursa Wall Street lantas memperlihatkan perilaku kapitalisme yang mengusung pasar sebagai panglima aslinya dengan menggerogoti banyak saham-saham perusahaan lain melalui aksi jual. Bursa Wall Street lalu tak sempat bernapas untuk menghentikan sejenak aksi para spekulan. Puncaknya terjadi pada Senin lalu dan langsung berimbas kepada anjloknya bursa saham dunia .
Anjloknya pasar saham dunia itu merupakan yang terburuk dalam enam tahun terakhir dan telah menguapkan nilai bursa saham hingga US$ 5 miliar pada tahun ini. Kabar terbaru menyebutkan, dalam 48 jam terakhir bursa Dow Jones sudah anjlok hingga 500 poin.
Mungkin karena melihat tanda-tanda yang semakin tidak membaik, the Federal Reserve pun lantas memangkas suku bunga hingga 3,4 persen pada hari Selasa (22 Januari) www.washingtonpost.com, Selasa 22 Januari 2008). Penurunan suku bunga tersebut bisa diduga sebagai jawaban atas anjloknya bursa saham dunia dan peringatan kepada pasar-pasar keuangan dunia akan munculnya kebijakan politik yang mungkin akan diambil oleh banyak negara.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Saham Properti merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahan-perusahan perseroan yang bergerak dibidang property atau real estate. Dana investasi realestat atau lebih dikenal secara umum dengan istilah Real Estate Investment Trust atau biasa disebut REITs merupakan instrumen investasi berupa surat berharga yang dapat dibeli oleh investor dari perusahaan realestat yang menerbitkan REITs.
Kenaikan suku bunga bank sangat mempengaruhi aktivitas dunia usaha pada umumnya, khususnya sektor properti. Selain itu faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi perkembangan saham properti adalah 1) Kondisi keuangan nasional, 2) Tingkat inflasi, 3) Nilai tukar valuta asing, 4) Kebijakan pemerintah, 5) Struktur modal, 6) Tingkat likuiditas, dan 7) Struktur aktiva (operating leverage)
Gejala krisis keuangan Amerika Serikat sudah terlihat sejak September tahun lalu. Saat itu sejumlah perusahaan investasi keuangan ternama dunia mengalami gagal bayar atau kerugian menyusul mulai ambruknya sektor properti Amerika Serikat yang dililit kredit macet. Gejala itu lalu menjadi kenyataan ketika pada November 2007 harga-harga saham dari perusahaan investasi keuangan itu anjlok.
Morgan Stanley, Citigroup Inc. dan Merrill Lynch adalah beberapa perusahaan investasi keuangan raksasa yang terkena dampak serius dari melonjaknya kredit macet di sektor perumahan di Amerika Serikat. Perusahaan itu tercatat menderita kerugian US$ 3,7 miliar (Morgan Stanley), US$ 6,1 miliar (Citigroup Inc.) dan US$ 8,9 miliar (Merrill Lynch).